Tampilkan postingan dengan label local. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label local. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Desember 2014

Asal usul nama pulau di Indonesia




 Asal Usul Nama Pulau-Pulau Besar Di Indonesia
    Dalam Buku "The New Book of World Rangking" (NWBR) edisi 1984,Indonesia merupakan negara yang memiliki kepulauan terbesar di dunia dengan merangkul 18.110 pulau. Segitu banyaknya pulau, mungkin tidak kita ketahui semua nama-nama pulau tersebut khususnya pulau-pulau kecil. apalagi sampai sejarah nama-nama pulau tersebut. Disini, saya akan memaparkan Sejuta cerita dari abad ke abad yang mewarnai timbulnya proses penamaan dari pulau-pulau terbesar di Indonesia ini. 

Sumatera 
Berbagai cerita rakyat dan sumber-sumber sejarah menurunkan sebutan untuk Sumatera dengan beragam nama yang unik. Suku Minangkabau misalnya, dahulu menyebut Sumatera dengan sebutan “Pulau Ameh” yang artinya “Pulau Emas”. Nama tersebut di adopsi dari cerita Minangkabau “Cindur Mata”. Lalu “Tanoh Mas” yang terkenang dalam cerita rakyat Lampung juga melekat dengan sebutannya itu. Ada lagi nama lain yang dilontarkan oleh musafir dari Cina bernama I-Tsing di era abad ke-7 (634-713), yaitu “Chin Chou” yang berarti “Negeri Emas”.
Beberapa naskah-naskah india sebelum masehi yang salah satunya paling tua yaitu naskah Buddha, kitab Jataka, sudah mencatatkan Sumatra dalam sejara prasasti dengan nama sansekerta yakni Suwarnadwipa (Pulau Emas) atau Suwarnabhumi (Tanah Emas) yang bercerita tentang pelaut india dalam mengarungi teluk Benggala menuju Suwarnabhumi. Bahkan cerita legenda Ramayana juga sudah mengkisahkan tentang Suwarnadwipa dimana isi ceritanya yaitu tentang penculikan yang dilakukan oleh Ravana terhadap istri Rama, Dwi Sinta, sampai ke Suwarnadwipa. Tak sampai disitu sejarah nama Sumatra dari berbagai cerita berkembang. ada banyak pula musafir Arab yang menamakan Sumatra dengan sebutan Serendib (tepatnya: Suwarandib) yang sebenarnya sama dengan nama Sansekerta Suwarnadwipa setelah ditransliterasi. tahun 1030, Sriwijaya dikunjungi oleh ahli geografi Persia, Abu Raihan Al-Biruni, yang menyebutkan letak negri Sriwijaya ada pada pulau Suwarandib. tak banyak juga orang yang mengidentifikasikan Serendib dengan Srilangka yang sesungguhnya bukan Suwarnadwipa. Sampai akhirnya di abad ke 15, muncullah para musafir asal Eropa yang menyebut Sumatra dengan sebutan Samudera untuk seluruh pulau. Kata Samudera sendiiri berasal dari nama kerajaan Aceh yang lahir di abad ke 13 dan 14. Dari sinilah asal muasal revolusi nama dari Samudra menjadi Sumatera di lafalkan. Berawal ketika kisah pelayarannya Odorico da Pardenone tahun 1318 yang berlayar dari Koromandel, India, dalam jangka waktu 20 hari, menuju ke timur, lalu berhenti di kerajaan Sumoltra. Memasuki abad selanjutnya, nama Samudera (kerajan Aceh) dikudeta oleh para musafir lain untuk menamakan seluruh pulau sesudah cerita yang di kemukakan oleh Ibnu Bathutah, petualang asal Maroko, di kitab Rihlah Ila I-Masyriq (pengembaraan ke timur) tahun 1345 bahwa dia pernah menapakkan kaki di kerajaan Samatrah. Adalah Ibnu Majid, orang pertama yang memetakan daerah dekat Samudra Hindia ini dengan menuliskan keterangan pulau Samatrah tahun 1490, yang kemudian digambar ulang oleh Roteiro tahun 1498 dan merubah namanya menjadi Camatarra. Beberapa peta-peta lain yang pernah dibuat oleh bangsa Portugis diantaranya: · Tahun 1501, peta buatan Amerigo Vespucci dengan melahirkan nama Samatara. · Tahun 1506, peta karya Masser memunculkan nama Samatra. · Tahun 1510, peta racikan Ruy d’Araujo yang dinamai pulau Camatra · Tahun 1512, peta bikinan Alfonso Albuquerque menulis Camotra. serentetan musafir-musafir lain bahkan pernah tercatat menuliskan nama Sumatera lebih parah lagi: Samoterra, Samotra, Sumotra, Zamatra dan Zamarota. Barulah muncul nama yang hampir benar yaitu Somatra, peta yang dituliskan oleh Antonio Pigafetta tahun 1521. Kemudian abad ke 16 era kerajaan Islam di Indonesia, bangsa Belanda dan Inggris mulai mengenalkan kekonsistenan mereka dalam penulisan Sumatra. Jan Huygen van Linschoten dan sir Francis Drake-lah yang selanjutnya sampai sekarang mempelopori catatan-catatan mereka dan mempatenkan kata Sumatera. Lalu di samakan dengan lidah orang Indonesia dengan kata “Sumatera”. Kerangka kata inilah yang sampai sekarang sudah menjadi baku. 

Kalimantan
Ada enam fase bongkar pasang nama Kalimantan ini di jabarkan sesuai dengan berjalannya masa. Terhitung dari abad ke 14 sampai dengan di era kita saat ini yaitu abad ke 21.
Pertama
Masuknya pedagang dari Portugis yang mengatakan negri ini adalah Borneo, lantas menguatkan bangsawan Eropa yang singgah dikalimantan dengan menyebut pulau ini dengan julukan Borneo. Boreneo merupakan kerajaan besar yang meliputi Serawak serta setengah Sabah yang dimiliki oleh kesultanan Mindanao. Nama Borneo dikenal dari kata kesultanan Brunei Darussalam. Tahun 1365 Kakimpoi Nagarakratagama memaparkan dalam tulisannya bahwa Brunei kuno di beri nama “Barune”. seterusnya ada nama lain yang muncul ditahun yang sama, diketahui yaitu “Waruna Putri”. Orang-orang asli Borneo malah menamai Kalimantan “Pulo Klemantan”.
Kedua
 “Pulau Mangga”, Sebutan ini pertama kali di kemukakan dalam Descriptive Dictionary of The Indian Island (1856) milik Crowfurd. Dia mengatakan kata Kalimantan adalah istilah untuk buah mangga. memang cukup rancu di dengar mengingat kalimantan bukan salah satu pulau penghasil mangga terbesar di Indonesia. Dia yang buat, dia juga yang mengomentari kata “pulau mangga” ini. Dia mengatakan terdengar seperti dongeng dan tidak familiar.
Ketiga
Ada kebiasaan bangsa india kuno dalam menyebutkan nama tempat, mereka menamakan pulau berdasarkan atas hasil bumi yang ditemukan, misalnya “jewawut” yang dalam artian bahasa sanksekerta yawa adalah Yawadwipa. Kemudian dikenallah dengan nama pulau Jawa yang dianalogikan kembali dalam sansekerta Amradwipa (Pulau Mangga). Sejarah India kuno ini tercatat dalam jurnal kepunyaan Dr.B.Ch. Chhabra yaitu M.B.R.A.S vol XV part 3 hlm 79. Keempat
Hasil temuan C. Hose dalam karangannya bertajuk “Natural Man, a Record From Borneo (1962)” dan Mac Dougall memaparkan yaitu bangsa Melayu menggunakan Kalimantan sebagai nama baru. Mereka juga mengatakan kata Kalimantan lahir berdasarakan 6 golongan suku-suku penghuni pulau tersebut, diantaranya Dayak Laut (Iban), Kayan, Kenya, Klemantan, Mutun, dan Punan.
Kelima
Memang tidak dibenarkan oleh W.H Trecher dalam British Borneo jurnal M.B.R.A.S (1899) bahwa mangga liar tidak pernah dicanangkan di Kalimantan Utara, yang ada justru orang-orang lebih mengenal kalimantan dengan pulau sagunya atas pengertian dari kata Lamantah, yang dasarnya adalah sagu mentah.
Keenam
Kembali ke pengertian dasar sanksekerta, yakni dari kata kalamantha yang bermakna pulau dengan udara yang sangat panas membakar. Terdiri dari dua kosa kata, Kala (musim) dan manthan (membakar). Di abad ke 21 ini, dalam buku Sriwijaya (LKIS 2006) karya Dr. Slamet Muljiana, mengutarakan bahwa Kalimantan adalah kata pinjaman bukan dari kata Melayu asli. Melayu sendiri yang tak lain adalah berasal dari kata India (Malaya yg artinya gunung). Kata Kalimantan yang akhirnya dikumandangkan dengan benar pada hakikatnya turun ketika huruf vokal a pada “Kala” dan “Manthana” tidak biasa diucapkan oleh orang-orang. Sehingga Kalamanthana dilafalkan “Kalmantan” oleh penduduk asli Klemantan atau Quallamontan sebelum akhirnya terbiasa dan terciptalah kata Kalimantan yang sampai sekarang digunakan.

Papua
Menilik pada bentuk fisik dari orang-orang papua suku asli, muncullah kata Papua yang berasal dari bahasa Melayu yang artinya rambut keriting. Di era pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, nama Nugini Belanda (nederlands nieuw guinea/dutch new guniea) mulai dikenal.
    Sejak tahun 1969-1973 setelah dirangkul oleh kekuasaan Indonesia, papua berubah nama menjadi Irian Barat. Lalu kembali berubah ketika mantan presiden RI Soeharto mendirikan tambang tembaga dan emas freeport menjadi Irian Jaya. Hingga tahun 2002 nama tersebut resmi digunakan. Irian ternyata punya kependekan yang artinya menolak belanda, yaitu Ikut Republik Inonesia, Anti Nederland (join/follow the republic of Indonesia, rejecting the Nederlands) Dengan Diberlakukannya undang-undang UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, maka daerah Irian Jaya beralih nama menjadi provinsi Papua tepatnya di tahun 2003. Papua Timur adalah wilayah yang dijadikan provinsi Papua sampai saat ini. kemudian Indonesia membagi dua provinsi untuk Papua yaitu bagian timur dengan nama tetap Papua dan bagian barat dengan nama Provinsi Irian Jaya Barat yang lantas ditahun selanjutnya mengganti nama menjadi Papua Barat.

Jawa
Ada satu tanaman terkenal di pulau ini, tanaman tersebut adalah barley atau Jelai atau Jawawut yang dalam bahasa sansekertanya “yava”. Ada kemungkinan dari sinilah cikal bakal nama Jawa ditemukan. Akan tetapi pada kenyataannya asal-usul nama Jawa selalu simpang siur.
kemungkinan terbesar adalah memang berasal dari nama tanaman jawa-wut yang dikemukakan para musafir India. Sumber lainnya mengatakan kata “Jau” dari variasinya berarti “di luar” atau “jauh”. Pernyataan lain juga muncul dari Proto-Austronesia yang mengasalkan kata “jawa” yang artinya “rumah”. 

Sulawesi
Pulau ini dikelilingi arus laut dan sungai yang deras, merujuk pada satu teori yang mengiyakan bahwa pulau ini “sulit untuk dicapai”. Dewasanya, kemungkinan nama Sulawesi berasal dari penggabungan kata antara sula (pulau) dan besi (besi) yang didasarkan atas sejarah kekayaan deposit bijih hasil ekspor perbesian dari Danau Matano.

Sejarah Nama INdonesia


 
Sebagai warga negara yang baik seharusnya mengetahui sejarah atau asal usul nama negara kita tercinta. Ini asal usul atau sejarah nama dari Indonesia
Nama Indonesia berasal dari berbagai rangkaian sejarah yang puncaknya terjadi di pertengahan abad ke-19. Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara  Indocina  dan Australia dengan aneka nama, sementara kronik-kronik bangsa Tionghoamenyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan"). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa(pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan,benzoe, berasal dari nama bahasa Arabluban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama  Samathrah  (Sumatera),  Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, PersiaIndia, danTiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische ArchipelIndian Archipelagol'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost IndieEast IndiesIndes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel,Malay Archipelagol'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945  memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin"insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur"), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandiayang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849seorang ahli etnologi bangsa InggrisGeorge Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atauMalayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia[1] Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi[1]
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-IndiĆ« tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh ProfCornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan IndonesiĆ«r ("orang Indonesia") disadur dari wikipedia