cquired Immunodeficiency
Syndrome atau Acquired Immune
Deficiency Syndrome
(disingkat AIDS)
adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau:sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi virus HIV;[1] atau
infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV,
dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human
Immunodeficiency Virus (atau
disingkat HIV)
yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena
virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun
mudah terkena tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya
umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah,
dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan
dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi,
antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, ataumenyusui, serta bentuk kontak lainnya
dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat
bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini
AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah
menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.[5] Pada Januari 2006, UNAIDSbekerja
sama dengan WHO memperkirakan bahwa
AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali
diakui pada tanggal 5 Juni1981.
Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam
sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta
jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari
570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga
dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat
pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana.
Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat
mengurangi tingkat kematian
dan parahnya infeksi
HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.[6]
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS,
umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan
lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada
petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup
dengan HIV/AIDS (ODHA).
Gejala dan
komplikasi
Berbagai
gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem
kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur
sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV.Infeksi
oportunistik umum
didapati pada penderita AIDS.[7] HIV
memengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko
lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim,
dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki
gejala infeksi sistemik; seperti demam,berkeringat (terutama pada malam
hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat
badan.[8][9] Infeksi
oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat
kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
Penyakit paru-paru utama
Pneumonia pneumocystis (PCP)[10] jarang dijumpai pada
orang sehat yang memilikikekebalan tubuh yang baik, tetapi
umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis
jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di
negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di
negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS
pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak
muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang
dari 200 per µL.[11]
Tuberkulosis (TBC) merupakan
infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat
ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan
(respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat
muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan.
Namun, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada
penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di
negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan
pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang
terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada
stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai
penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai
penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis
ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik
(konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai
infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang,tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati,
kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat.[12] Dengan demikian,
gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit
ekstrapulmoner.
Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis adalah peradangan
pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur
makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini
terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan
oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.
Diare kronis yang tidak
dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab;
antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi
oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium
complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan
penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek
samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping
dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga
merupakan efek samping dariantibiotik yang digunakan untuk
menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium
difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan
merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi,
serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang
berhubungan dengan HIV.
Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
Infeksi HIV dapat menimbulkan
beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric
sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang
telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh parasit bersel-satu,
yang disebut Toxoplasma
gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak
akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat
menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru.[15] Meningitis
kriptokokal adalah infeksi
meninges
(membran yang menutupi otak dan sumsum tulang
belakang) oleh jamur
Cryptococcus neoformans.
Hal ini dapat menyebabkan demam,sakit kepala, lelah, mual, dan muntah.
Pasien juga mungkin mengalami sawan dan
kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati
multifokal progresif adalah
penyakit demielinasi,
yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson),
sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di
tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem
kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini
berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya
menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.[16]
Kompleks demensia AIDS adalah
penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang terjadi karena menurunnya
metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi
HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag
dan mikroglia pada
otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin. Kerusakan syaraf yang
spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik,
yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan
dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan
virus pada plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara
Barat adalah sekitar 10-20%,[18] namun di India hanya terjadi pada
1-2% pengidap infeksi HIV.[19][20] Perbedaan ini mungkin
terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.
Kanker dan tumor ganas (malignan)
Pasien dengan infeksi HIV pada
dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker.
Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutamavirus Epstein-Barr (EBV), virus herpes
Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).[21][22]
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang
paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada
sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu
pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae,
yaitu virus herpes
manusia-8 yang
juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di
kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain,
terutama mulut,
saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan
terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's
lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma),diffuse large
B-cell lymphoma (DLBCL),
dan limfoma
sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang
terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis)
yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini
sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes
Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang
terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papilomamanusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga
dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar
bawah (rectum),
dan kanker anus. Namun, banyak tumor-tumor yang umum
seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang
tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat
dilakukannya terapi
antiretrovirus yang sangat aktif (HAART)
dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS
menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian
yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.[23]
Infeksi oportunistik lainnya
Pasien AIDS biasanya menderita
infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat
badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat
menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan
di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis
sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang
disebabkan oleh jamurPenicillium
marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi
oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV
di daerah endemik Asia Tenggara.[24]
Penyebab
AIDS merupakan bentuk terparah atas
akibat infeksi HIV.
HIV adalahretrovirus yang biasanya
menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dansel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan
tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan
agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T
CD4+ hingga
jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah,
maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan
akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut
menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan
akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta
adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi
antiretrovirus, rata-rata lamanya
perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan
rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan.[25] Namun, laju
perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua
minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang memengaruhinya, diantaranya ialah
kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari
orang yang terinfeksi.[26][27] Orang tua umumnya
memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga
lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang
terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya sepertituberkulosis, juga dapat mempercepat
perkembangan penyakit ini.[25][28][29] Warisan genetik orang yang terinfeksi
juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap
beberapa varian HIV.[30] HIV memiliki beberapa
variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju
perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula.[31][32][33] Terapi antiretrovirus
yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya
AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara
seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan
preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya.
Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan
seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar
daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak
berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif.[34] Kekerasan seksual
secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak
digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang
memudahkan transmisi HIV.[35]
Penyakit
menular seksual meningkatkan
risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan
juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit danmakrofaga) pada semen dan sekresi vaginal.
Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa,
dan Amerika Utaramenunjukkan bahwa terdapat
sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat
kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga
meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular
seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan
pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.[36]
Transmisi HIV bergantung pada
tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang
belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit
ini dan tidak konstan antarorang. Beban virusplasma yang tidak dapat
dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau
sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah
sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.[36][37]Wanita lebih rentan terhadap
infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal,
dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.[38][39] Orang yang terinfeksi
dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
Kontaminasi patogen melalui darah
Jalur penularan ini terutama
berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah.
Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang
mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit
(patogen), tidak hanya merupakan risiko
utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B danhepatitis C. Berbagi penggunaan jarum
suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi
hepatitis C di Amerika Utara,Republik Rakyat
Tiongkok, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV
dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga
sekitar 1 banding 150. Post-exposure
prophylaxis dengan
obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.[40] Pekerja fasilitas
kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga
dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi
pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan
universal sering
kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya
sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari
semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada
fasilitas kesehatan yang tidak aman.[41] Oleh sebab itu, Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum
dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan
universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.[42]
Resiko penularan HIV pada penerima
transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor
bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun, menurut WHO,
mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan
"antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang
terinfeksi".[43]
Penularan masa perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat
terjadi melalui rahim (in utero) selama
masa perinatal,
yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak
ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan
adalah sebesar 25%. Namun, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi
antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya
sebesar 1%.[44] Sejumlah faktor dapat
memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan
(semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan
risiko penularan sebesar 4%.[45]
Diagnosis
Sejak tanggal 5Juni 1981,
banyak definisi yang muncul untuk pengawasan
epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dandefinisi World Health Organization tentang AIDS tahun
1994. Namun, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan
epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang
digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health
Organization untuk
infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di
negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers
for Disease Control (CDC)
Amerika Serikat.
Sistem tahapan infeksi WHO
Pada tahun 1990, World Health
Organization (WHO)
mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem
tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1.[46] Sistem ini diperbarui
pada bulanSeptember tahun 2005.
Kebanyakan kondisi ini adalahinfeksi
oportunistik yang
dengan mudah ditangani pada orang sehat.
·
Stadium II: termasuk
manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran
pernapasan atas yang
berulang
·
Stadium III: termasuk diare kronik yang
tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan
tuberkulosis.
·
Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasisesofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah
indikator AIDS.
Sistem klasifikasi CDC
Terdapat dua definisi tentang AIDS,
yang keduanya dikeluarkan oleh Centers
for Disease Control and Prevention (CDC).
Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk
dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada
mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut.[47][48] CDC mulai menggunakan
kata AIDS pada bulan September tahun 1982,
dan mendefinisikan penyakit ini.[49] Tahun 1993,
CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah
sel T CD4+ di
bawah 200 per µL darah atau 14% dari seluruh limfositnya sebagai pengidap
positif HIV.[50] Mayoritas kasus AIDS
di negara maju menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir
maupun pra-1993. Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah
sel T CD4+ meningkat
di atas 200 per µL darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS
yang ada telah sembuh.
Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa
mereka terinfeksi virus HIV.[51] Kurang dari 1%
penduduk perkotaan di Afrika yang
aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih
sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan
yang mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS,
menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih
kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan.[51] Dengan demikian,
darah dari para pendonor dan produk darah yang
digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa
kontaminasi HIV-nya.
Tes HIV umum,
termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk
mendeteksi antibodi HIV
padaserum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun,
periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat
dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah
sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif
tes. Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA,
dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi
infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun
metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi
HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.
Pencegahan
Tiga jalur utama (rute) masuknya
virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan)
dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama
periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan
pada air liur, air mata dan
urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi
dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara
umum dapat diabaikan.[59]
Hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpapelindung antarindividu
yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama
infeksi HIV di dunia.[60] Selama hubungan
seksual, hanya kondom pria
atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan
penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini
menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV
sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar
jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan.[61] Kondom laki-laki
berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan
dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang paling
efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit
menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas
berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan
dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan
membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen menyarankan
menggunakan pelumas berbahan dasar air.
Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.[62]
Kondom wanita adalah alternatif
selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk
digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita lebih besar
daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin,
dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang
membuat kondom tetap di dalam vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin
ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang
tersedia dan harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian
awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan
pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa
pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang
penting.[63]
Penelitian terhadap pasangan yang
salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang
konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di
bawah 1% per tahun.[64] Strategi pencegahan
telah dikenal dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian atas
perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika
Utara menunjukkan
keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan berisiko
tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko
yang mereka hadapi atas infeksi HIV.[65] Namun, transmisi HIV
antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah
menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Pada bulan Desember tahun 2006,
penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan
risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai
sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang
terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan
sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat.
Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada
laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga
mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.[66]
Pemerintah
Amerika Serikat dan
berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan
ABC untuk
menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual.[67] Adapun rumusannya
dalam bahasa Indonesia:[68]
Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
Pekerja kedokteran yang mengikuti
kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik
dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS
menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang
diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik,
kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu
menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi
tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas
kesehatan dan program
penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat
gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman.
Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian
perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.
Penularan dari ibu ke anak
Penelitian menunjukkan bahwa obat
antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang
penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT).[69] Jika pemberian
makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau,
berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak
mereka. Namun, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI
eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya
dihentikan sesegera mungkin.[5] Pada
tahun 2005,
sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui
penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika.[70]Dari semua anak yang diduga kini
hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.[5]
Penanganan
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau
obat untuk HIV atau AIDS. Metode
satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran
kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung
setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure
prophylaxis (PEP).[40] PEP memiliki jadwal
empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping
yang tidak menyenangkan seperti diare,
tidak enak badan, mual, dan lelah.[71]
Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini
adalah terapi
antiretrovirus yang sangat aktif (highly
active antiretroviral therapy, disingkat HAART).[72] Terapi ini telah
sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996,
yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor.[6] Pilihan
terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut
"koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau
"kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum
digunakan adalahnucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor,
atau dengannon-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena
penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang
dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak
daripada untuk orang dewasa.[73] Di negara-negara
berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan
mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan
berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai
perawatan awal.[74]
Perawatan HAART memungkinkan
stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien,
tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1
dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali
setelah perawatan dihentikan.[75][76] Lagi pula, dibutuhkan
waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan
menggunakan HAART.[77] Meskipun demikian,
banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan
kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat
kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV.[78][79][80] Tanpa perawatan
HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata
(median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan
setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan.[25] Penerapan HAART
dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun.[81][82] Bagi beberapa pasien
lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART
memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak
pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak
efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan
ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama
mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART.[83] Terdapat
bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan
HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas
fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta
penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam
kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang
harus dijalankan secara rutin .[84][85][86] Berbagai efek samping
yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara
lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem
kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang
dilahirkan.
Obat anti-retrovirus berharga mahal,
dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap
pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut.[89]
Penanganan eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya
vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya
vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara
berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian.[89] Namun setelah lebih
dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.[89]
Beragam penelitian untuk
meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat,
penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan
urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi
oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi
HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A
dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam
berisiko terinfeksi.[90] Pasien yang mengalami
penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi
pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia
pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula
mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut.[71]
Susu sapi adalah salah satu produk
tepat yang bisa mencegah penularan penyakit yang belum ada obatnya ini. Awalnya
ilmuwan melihat bahwa sapi ternyata tidak dapat terinfeksi HIV. Setelah
melewati proses penelitian yang cukup lama, ternyata para peneliti tersebut
menemukan fakta kalau sapi bisa menghasilkan antibodi yang bisa mencegah
penularan HIV. Para peneliti tersebut kemudian menyuntikkan sapi betina dengan
protein HIV. Setelah sapi melahirkan, para ilmuwan tersebut mengumpulkan
kolostrum (susu pertama yang dihasilkan setelah melahirkan). Dan ternyata
kolostrum tersebut mengandung antibodi HIV.[91]
Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan
alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan
penyakit.[92] Akupunktur telah digunakan untuk
mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral
neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan
infeksi HIV.[93] Tes-tes uji acak
klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti
bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit
ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius.[94]
Beberapa data memperlihatkan bahwa
suplemen multivitamin dan mineral
kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun
tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan
berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik.[95] Suplemen vitamin A pada
anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat.[95] Pemakaian selenium dengan
dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya
peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping
terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat
digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.[96]
Penyelidikan terakhir menunjukkan
bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap
mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup
individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi
alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari
pemakaiannya.[97]
Namun oleh penelitian yang
mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada penderita AIDS
yang terjangkit virusHIV-1,
beberapa pakar menyarankan terapi dengan asupan hormon tiroksin.[98] Hormon tiroksin dikenal dapat
meningkatkan laju metabolisme
basal sel eukariota[99] dan memperbaiki
gradien pH pada mitokondria.[100]
Epidemiologi
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa
AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981,
membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling menghancurkan pada sejarah.
Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus bertambah baik di banyak
region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4
dan 3,3 juta) hidup pada tahun 2005 dan lebih dari
setengah juta (570.000) merupakan anak-anak.[5] Secara
global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV.[5] Pada
tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3
juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar
sejak tahun 1981.[5]
Afrika Sub-Sahara tetap merupakan
wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan perkiraan 21,6 sampai 27,4 juta jiwa
kini hidup dengan HIV. Dua juta [1,5&-3,0 juta] dari mereka adalah
anak-anak yang usianya lebih rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari semua
orang yang hidup dengan HIV ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per empat
(76%) dari semua wanita hidup dengan HIV. Pada tahun 2005,
terdapat 12.0 juta [10.6-13.6 juta] anak yatim/piatu AIDS hidup di Afrika Sub Sahara.[5] Asia Selatandan Asia Tenggara adalah terburuk kedua
yang terinfeksi dengan besar 15%. 500.000 anak-anak mati di region ini karena
AIDS. Dua-tiga infeksi HIV/AIDS di Asia muncul di India,
dengawn perkiraan 5.7 juta infeksi (perkiraan 3.4 - 9.4 juta) (0.9% dari
populasi), melewati perkiraan di Afrika Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1
juta) (11.9% dari populasi) infeksi, membuat negara ini dengan jumlah terbesar
infeksi HIV di dunia. Di
35 negara di Afrika dengan
perataan terbesar,harapan hidup normal sebesar 48.3
tahun - 6.5 tahun sedikit daripada akan menjadi tanpa penyakit.
Sejarah
AIDS pertama kali dilaporkan pada
tanggal 5 Juni 1981,
ketika Centers
for Disease Control and Prevention Amerika Serikatmencatat adanya Pneumonia
pneumosistis (sekarang
masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan olehPneumocystis
jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles.[103]
Dua spesies HIV yang diketahui
menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber
dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan
kebanyakan berada di Afrika Barat.[104] Baik HIV-1 dan HIV-2
berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan
troglodytes troglodytes yang
ditemukan di Kamerun selatan.[105] HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys),
monyet dari Guinea Bissau, Gabon,
dan Kamerun.
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV
masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya
selama berburu atau pemotongan daging.[106] Teori yang lebih
kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS,
menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an
di Kongo Belgia sebagai akibat dari
penelitianHilary Koprowski terhadap vaksin polio.[107][108] Namun, komunitas
ilmiah umumnya berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh
bukti-bukti yang ada.[109][110][111]
Sosial dan budaya
Stigma
Hukuman sosial atau stigma oleh
masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS terdapat dalam
berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan,diskriminasi, dan penghindaran atas orang
yang diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat
persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya; dan penerapan
karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV.[112] Kekerasan atau ketakutan
atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa
bagaimana hasil tes mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga
mungkin mengubah suatu sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi
"hukuman mati" dan menjadikan meluasnya penyebaran HIV.[113]
Stigma AIDS lebih jauh dapat
dibagi menjadi tiga kategori:
·
Stigma instrumental AIDS - yaitu
refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang berhubungan dengan
penyakit mematikan dan menular.[114]
·
Stigma simbolis AIDS - yaitu
penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau
gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut.[114]
·
Stigma kesopanan AIDS - yaitu
hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang
positif HIV.[115]
Stigma AIDS sering diekspresikan
dalam satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan dengan homoseksualitas,biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan narkoba melalui
suntikan.
Di banyak negara maju, terdapat penghubungan antara
AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat
prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya sikap-sikap anti homoseksual.[116] Demikian pula terdapat
anggapan adanya hubungan antara AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki,
termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan yang belum terinfeksi.[114]
Dampak ekonomi
HIV dan AIDS memperlambat
pertumbuhan ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia dengan kemampuan
produksi (human capital).[5] Tanpa nutrisi yang
baik, fasilitas kesehatan dan obat yang ada di negara-negara berkembang, orang
di negara-negara tersebut menjadi korban AIDS. Mereka tidak hanya tidak dapat
bekerja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai. Ramalan
bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya ekonomi dan hubungan di daerah. Di
daerah yang terinfeksi berat, epidemik telah meninggalkan banyak anak yatim
piatu yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang telah tua.[117]
Semakin tingginya tingkat kematian
(mortalitas) di suatu daerah akan menyebabkan mengecilnya populasi pekerja dan
mereka yang berketerampilan. Para pekerja yang lebih sedikit ini akan
didominasi anak muda, dengan pengetahuan dan pengalaman kerja yang lebih
sedikit sehingga produktivitas akan berkurang. Meningkatnya cuti pekerja untuk
melihat anggota keluarga yang sakit atau cuti karena sakit juga akan mengurangi
produktivitas. Mortalitas yang meningkat juga akan melemahkan mekanisme
produksi dan investasi sumberdaya
manusia (human capital) pada masyarakat, yaitu akibat hilangnya
pendapatan dan meninggalnya para orang tua. Karena AIDS menyebabkan
meninggalnya banyak orang dewasa muda, ia melemahkan populasi pembayar pajak,
mengurangi dana publik seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan lain yang
tidak berhubungan dengan AIDS. Ini memberikan tekanan pada keuangan negara dan
memperlambat pertumbuhan ekonomi. Efek melambatnya pertumbuhan jumlah wajib
pajak akan semakin terasakan bila terjadi peningkatan pengeluaran untuk
penanganan orang sakit, pelatihan (untuk menggantikan pekerja yang sakit),
penggantian biaya sakit, serta perawatan yatim piatu korban AIDS. Hal ini
terutama mungkin sekali terjadi jika peningkatan tajam mortalitas orang dewasa
menyebabkan berpindahnya tanggung-jawab dan penyalahan, dari keluarga kepada
pemerintah, untuk menangani para anak yatim piatu tersebut.[117]
Pada tingkat rumah tangga, AIDS
menyebabkan hilangnya pendapatan dan meningkatkan pengeluaran kesehatan oleh
suatu rumah tangga. Berkurangnya pendapatan menyebabkan berkurangnya
pengeluaran, dan terdapat juga efek pengalihan dari pengeluaran pendidikan
menuju pengeluaran kesehatan dan penguburan. Penelitian di Pantai Gadingmenunjukkan bahwa rumah
tanggal dengan pasien HIV/AIDS mengeluarkan biaya dua kali lebih banyak untuk
perawatan medis daripada untuk pengeluaran rumah tangga lainnya.[118]
Penyangkalan atas AIDS
Sekelompok kecil aktivis,
diantaranya termasuk beberapa ilmuwan yang tidak meneliti AIDS, mempertanyakan
tentang adanya hubungan antara HIV dan AIDS,[119] keberadaan HIV itu
sendiri,[120] serta kebenaran atas
percobaan dan metode perawatan yang digunakan untuk menanganinya. Klaim mereka
telah diperiksa dan secara luas ditolak oleh komunitas ilmiah,[121] walaupun terus saja
disebarkan melalui Internet dan
sempat memiliki pengaruh politik di Afrika Selatan melalui mantan
presiden Thabo Mbeki, yang menyebabkan pemerintahnya
disalahkan atas respon yang tidak efektif terhadap epidemik AIDS di negara
tersebut.
0 comments:
Posting Komentar